Pesan dan Nilai dalam Pertunjukan Calonarang
Pertunjukan Barong Ket dan Rangda dengan lakon Calonarang menggunakan beberapa tokoh, sehingga penampilannya sangat bervariasi dan menarik. Mulai dari anak-anak, orang dewasa, dan orang tua sudah mengenal cerita ini dengan baik, karena pada dasarnya mereka ingin melihat puncak dari pertunjukan tersebut yaitu tampilnya tokoh Barong Ket dan Rangda yang dikeramatkan itu. Ada beberapa hal yang dapat disimak melalui pertunjukan tersebut, antara lain melalui dalam susunan dan rangkaian adegan-adegan yang merupakan transfer sistem nilai-nilai, etika dan moral yang terkandung dalam cerita tersebut sebagai pesan-pesan budaya terhadap generasi penerus. Di lingkungan pedesaan. Dalihnya hanya sekadar untuk mencari pengelaris atau pengelantih dalam usaha dagangannya, namun di dalamnya diisi kekuatan black magic. Terkadang yang bersangkutan tidak menyadari bahwa dirinya sudah dimasuki paham atau ilmu pengiwa, tentunya berdampak tidak baik terhadap dirinya sendiri yang sudah menyimpang dari ajaran dharma. Ini berarti tidak bisa mengendalikan diri yang selalu mengumbar indria nafsu dan tak pernah dituntun oleh cita dan budi sehingga tidak peduli terhadap kesejahteraan dunia. Adegan bebondresan (lawakan) yakni medusang-dusangan, memberi pesan bagaimana tata-cara untuk memandikan mayat serta menempatkannya di Bale Gede, bila belum ada hari baik untuk proses pemakaman maupun pembakaran jenasah (ngaben). Suatu wujud balas budi terhadap leluhur yang telah menurunkan keturunan dan menghantarkan arwahnya melalui tingkatan upacara Pitra Yadnya yang terdiri dari: sawa perteka atau upacara penyelesaian jenazah,sawa wedhana yaitu pembakaran jenasah dan tulang-tulangnya, apabila tulangnya sudah tidak ada disebut Swasta, dan terakhir abu jenasah dibuang ke
laut, dan dilanjutkan atma wedhana atau memukur. Adegan prateka jenasah ini dilakukan oleh orang yang masih hidup diupacarai layaknya seperti orang telah meninggal. Demikian pula adegan Balian yang merupakan praktik perdukunan masih tetap berlangsung hingga kini, walaupun Puskesmas Pembantu dengan kehadiran dokter sudah menyebar di pelosok Desa. Masyarakat Desa masih juga
melakukan tradisi nunasang teken Jero Balian atau mempertanyakan tentang penyakit si penderita dengan Balian, sering juga disebut metamba . Adegan Barong Ket dan Rangda (keduanya dikeramatkan) , keduanya oleh masyarakat dianggap sebagai pelindung dalam kehidupan sehari-hari, namun dalam cerita Calonarang benda suci itu diangkat sebagai bagian dari drama tari. Barong Ket dijadikan sebagai manefestasi kebaikan dan Rangda sebagai manifestasi kejahatan. Menurut Rai Wardhana I B, (1997:56) konsep Rwa Bhinedha terkait langsung dengan pokok-pokok keimanan dalam agama Hindu Dharma yang disebut Panca Sradha yaitu lima kepercayaan. Pertama, percaya akan adanya Hyang Widhi, kedua percaya dengan adanya atman, ketiga percaya akan adanya karma phala, keempat percaya akan adanya punar bhawa atau lahir kembali, dan ke lima percaya dengan adanya moksa. Kelima keyakinan ini saling mendukung antara satu dengan yang lainnya yaitu: masyarakat menyembah dengan bermacam-macam cara di tempat-tempat tertentu kepada Yang Maha Kuasa dan memohon perlindungan serta petunjukNya, agar menemukan jalan terang dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Atman merupakan percikan kecil dari Paramaatman, bila atman meninggalkan badan manusia pun mati danbagian-bagian tubuh hancur kembali ke asalnya ke panca mahabhuta. Menurut ajaran ini orang yang meninggal dapat naik ke sorga atau jatuh ke neraka. Orang
yang berbuat baik (suci) dan tidak terikat lagi dengan nafsu duniawi akan sampai ke alam nirwana, sedangkan orang yang berbuat jahat atau buruk akan mendapat siksaan di neraka. Apapun yang diperbuat manusia membawa akibat (karma phala), akibat yang baik memberikan kesenangan, sedang akibat yang buruk mendapatkan kesusahan. Oleh karena itu manusia harus berbuat baik, agar
mendapat kesenangan yang abadi dan hidup tentrem. Buah perbuatan manusia (karma) itu disebut phala yang terkadang tidak secara langsung dirasakan atau dinikmati seperti membalikkan tangan seketika dapat dilakukan, namun menanam padi harus menunggu berbulan-bulan untuk dapat memetik hasilnya. Jiwa atau roh tidak selamanya di neraka atau di sorga, kelahiran kembali di dunia disebut punarbhawa atau samsara. Kalau ia membawa karma yang baik lahirlah menjadi orang yang berbahagia, sebaliknya bila karmanya buruk akan lahir menjadi orang yang menderita. Kelahiran kembali ini merupakan kesempatan untuk memperbaiki atau mawas diri (karma), sehingga dapat memenuhi tujuan agama yaitu menuju alam pelepasan atau moksa. Begitu lekatnya hubungan antara pertunjukan Barong dengan melakonkan Calonarang yang menempatkan Barong Ket sebagai manifestasi kebaikan dan Rangda sebagai manifestasi kejahatan, dengan konsep ajaran panca srada. I Made Bandem I Made, (1996:35) juga mengungkapkan bahwa hakikat hidup manusia Bali berpedoman pada hukum karma phala, yakni berorientasi pada nilai baik dan buruk (dualisme), yang sangat berpengaruh pada seni pertunjukan dan kemudian muncul norma-norma etika maupun estetika. Norma-norma etika dijabarkandalan ajaran subha-asubha karma, yaitu kecenderungan sifat sifat manusia, sifat kedewataan yang menyebabkan manusia berbudi luhur serta mendapat ketentreman lahir dan batin, sedangkan sifat keraksaan merupakan kecenderungan yang rendah yang menyebabkan manusia berbudi rendah dan dapat jatuh kejurang neraka. Kedua sifat tersebut ada pada diri semua orang dalam ukuran yang berbeda-beda. Ini berarti dalam diri seseorang terdapat sifat baik dan buruk. Buku Sarasamuscaya menyebutkan bahwa manusialah yang mengenal perbuatan salah dan benar, baik dan buruk, serta dapat menjadikan yang tidak benar menjadi benar, perilaku itulah yang merupakan salah satu kemampuan manusia yang dikaruniahi oleh Tuhan. Dengan demikian lakon Calonarang memberikan wawasan sistem nilai budaya yang lebih luas dalam kehidupan masyarakat Bali, yang sebelumnya hanya berpedoman kepada konsep dualisme. Segala nilai-nilai dan norma-norma dalam masing-masing adegan, merupakan warisan atau tradisi yang diwariskan lewat cerita yang ditampilkan (oral traditions), sehingga masyarakat langsung dapat mengetahui dengan komunikasi secara praktis. Terbukti dengan langgengnya lakon Calonarang dalam pertunjukan Barong Ket hingga kini Pertunjukan tari dalam kehidupan masyarakat senantiasa berhubungan dengan kebutuhan masyarakat pendukungnya. Hal ini dikarenakan tari maupun kesenian yang lainnya berfungsi, dan kehadirannya dimanfaatkan dalam berbagai aspek kehidupan. Ditinjau dari fungsinya tari berperan sebagai sarana upacara, sarana hiburan pribadi, dan sarana tontonan. Upacara merupakan salah satu sarana untuk menunjukkan rasa bakti ke hadapan sang pencipta Hyang Widhi Wasa.Upacara berarti pula suatu rangkaian perbuatan atau tindakan yang terkait pada aturan-aturan sesuai dengan adat-istiadat dan agama. Bermacam-macam upacara dilaksanakan sebagai ungkapan kesungguhan menjalankan ibadah, baik yang ditujukan pada Hyang Widhi Wasa, Rsi, leluhur, sesama manusia dan kepada Buthakala. Dengan adanya tingkatan dalam upacara yadnya, maka penyajian Barong Ket dan Rangda berfungsi sebagai sarana upacara, yang memegang peranan penting dalam upacara Dewa yadnya dan Bhuta yadnya. Barong Ket dan Rangda dalam pelaksanaan upacara yang berkaitan dengan Dewa yadnya, berfungsi sebagai persembahan penyucian yang dilaksanakan secara periodik sebagai pernyataan hari jadi sebuah Pura. Barong Ket dan Rangda sebagai wali pada urutan upacara mider bhuana atau pradaksina. Dalam upacara ini para pemangku sebagai pengawal, semua pratima, Barong Ket dan Rangda, peserta mengusung kain putih yang panjang, berbaris mengelilingi bangunan Pelinggih sebanyak tiga kali putaran. Pada saat itu Barong Ket menari sambil mengatupngatupkan rahangnya hingga bersuara keras, diikuti Rangda dengan mengibasngibaskan kain kerudung putih yang telah berisi rerajahan sambil menggeramgeram. Pada saat putaran ketiga berakhir mulailah para pemangku atau masyarakat ada yang kerawuhan, diikuti oleh daratan atau onying yang sudah menyiapkan diri ngaturang ngayah. Suasana semakin mencekam mengingat para daratan menusuk-nusukkan keris kedada maupun badannya. Setelah itu datanglah pemangku memercikkan tirta, sehingga semua daratan sadar kembali.
Wow
BalasHapusInduk leak
BalasHapus